Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 26 Juli 2022

contoh daftar hadir jathilan

daftar hadir silahkan download dan edit sesuai kebutuhan 

Epik Perang Jawa

*Jangan Lupakan Sejarah*

Peninggalan Rumah Soemodilogo.

Satu Keluarga Tiga Bupati.
Jer basuki mawa beya, pepatah ini dipegang teguh oleh Aryo Soemodilogo.
Gelar Raden Tumenggung (RT) dan kamulyan sebagai Bupati Menoreh, secara sadar ia bayar dengan kerelaannya berperang melawan Pangeran Diponegoro. Soemodilogo bahkan belum pula sempat menjalankan tugas sebagai bupati, karena Perang Jawa itu keburu meletus.

Tumenggung Soemodilogo pun jadi salah satu komandan pasukan “sekutu”, yang terdiri dari serdadu Belanda, Legiun Mangkunegaran, prajurit Kasunanan Solo, dan sejumlah bupati prokumpeni lainnya. ‘’Batalyon’’ Soemodilogo berkedudukan di Parakan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dalam satu pertempuran, pasukannya hancur lebur diterjang prajurit Diponegoro. RT Soemodilogo tewas.

Cerita yang beredar di kalangan masyarakat Temanggung menuturkan, bahwa sebagai bukti keberhasil operasinya, laskar Diponegoro mengambil mustaka (kepala) sang bupati dan memperlihatkannya ke hadapan sang Pangeran Heru Cokro di markas komandonya, Selarong, Bantul, Jogja. Maka, hingga kini anak cucu mendiang, yang tergabung dalam paguyuban trah Soemodilagan, biasa nyekar pepundennya itu di dua tempat : di Parakan dan Selarong.

Pembesar yang menjadi korban panasnya Perang Jawa bukan hanya Aryo Soemodilogo. Tumenggung Danuningrat I, Bupati Magelang, menurut Sutherhand, mengalami nasib serupa. Bahkan, pasukan Belanda yang dipimpin veteran Perang Napoleon Jenderal Van Green, pun lumat diterjang laskar Diponegoro.

Sebagaimana bupati lain yang diangkat oleh Gubernur Jenderal Phillip Van der Capellen (1816-1826), Soemodilogo juga berasal dari keluarga penguasa yang dulunya menjadi bawahan Mataram. Ia adalah putera Raden Soemowerdojo, Patih Semarang. Sedangkan kakeknya adalah Bupati Semarang Raden Tumenggung Soemohadimenggolo.

Tradisi Van der Capellen itu berlanjut hingga 1850-an, untuk bupati-bupati pesisir Utara misalnya, umumnya diambil dari keluarga Bupati Semarang, Demak, Jepara, atau Pati. Untuk wilayah Jawa Tengah bagian Barat, yang dipromosikan kerabat Bupati Banyumas Yudonegoro. Keluarga Kolopaking dan Arumbinang untuk wilayah Begalen. Begitu pula yang terjadi di Jawa Timur.

Namun, dalam daftar resmi bupati Temanggung, nama RT Aryo Soemodilogo justru tidak tercantum. Yang tercatat sebagai Bupati Temanggung pertama adalah RT Joyo Negoro (1834-1848). Hal ini terjadi karena sebelumnya Kabupaten Temanggung itu disebut Kabupaten Menoreh yang pusat pemerintahannya di Parakan. Tapi, kabupaten Manoreh itu tak berumur panjang, karena hanya sementara. Namanya kemudian diganti Kabupaten Temanggung, dan ibukotanya pun di Temanggung.

Meski Tumenggung Aryo Soemodilogo tidak sempat menjalankan misi pemerintahan di Menoreh/Temanggung, pemerintah kolonial tak melupakan pengorbanannya. Terbukti setelah RT Djojo Negoro lengser 1848, diangkatlah putera Soemodilogo menjadi bupati Temanggung. Ia menjadi Raden Tumenggung Soemodilogo II.

Atas persetujuan Batavia, Soemodilogo II boleh memakai kata Holland sebagai nama depannya. Jadilah dia RT Holland Soemodilogo yang menjabat bupati selama 30 tahun. Sebelum pensiun, ia naik pangkat dengar gelar Kanjeng Raden Adipati.

Keluarga Soemodilogo masih mendapat kepercayaan sekali lagi memimpin Temanggung melalui RT Holland Soemodirdjo, putera Soemodilogo II. Tidak jelas mengapa ia hanya menjabat selama 4 tahun (1878-1882). Ia digantikan RT Tjokro Atmodjo (1882-1906) dan kemudian RM Adipati Tjokro Adikoesoemo (1906-1923), salah seorang bupati yang progresif untuk ukuran zamannya. Ayah dari mantan Gubernur DKI (alm) Tjokro Pranolo itu termasuk segelintir bupati yang mendukung gerakan Boedi Oetomo.

Dengan tiga nama yang pernah menjadi penguasa di Temanggung, tak heran bila nama nama Soemodilogo melegenda di lembah Sumbing-Sindoro, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.