Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 29 Oktober 2012

PERBEDAAN BUSANA ADAT ANTARA JOGJAKARTA DAN SURAKARTA





Pada tahun 1755 terjadi peristiwa bersejarah yaitu tepat ditandatangani nya perjanjian Gianti yang membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Karena latar belakang politik yaitu perang saudara yang makin memanas antara Pangeran Aryo Mangkubumi dan Sinuhun Paku Buwono II akhirnya Kompeni berusaha menengahi sekaligus menjalankan taktik licik VERDEEL EN HEERS membagi dan menaklukkan atau yang lebih beken Devide et Impera. Belanda kompeni memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram agar kekuasaannya terpecah belah sehingga lebih mudah dikuasai.. melalui perjanjian ini Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta dan kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sementara Sinuhun Paku Buwono III berkuasa di  Surakarta. Masyarakat di kedua wilayah ini lalu bertumbuh dengan adanya ‘caranya’ masing-masing. Mulai dari cara pandang, cara hidup, cara bicara, cara berbusana sampai pada seni gamelan dan seni tarinya. Yah, sangat beragam dan unik sekali. Contohnya seperti ini, ternyata ada perbedaan dari gaya berbusana antara pria Jogja dan Solo.




Perbedaannya ada pada mondolan atau gelung belakang. Kalau Yogyakarta mondolannya menonjol dan agak besar. Sementara Solo bentuknya pipih / kempes / trepes. Kok bisa begitu? Masing-masing ada makna filosofis yang menarik. Pada zaman dahulu banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga banyak yang digelung ke belakang menyatu dengan ikat kepala sehingga pada blangkon Jogja ada mondolan atau tonjolan di belakang tempat gelungan rambut. Ada juga yang memaknai bahwa gelungan itu ibarat aib yang harus disembunyikan baik aib sendiri maupun orang lain. Menyimpan rapat2 perasaannya sendiri demi menjaga perasaan orang lain. Tetap tersenyum walau hatinya menangis atau marah.. inilah sebenarnya watak orang jawa secara umum, jarang ada yang blak-blakan tanpa tedheng aling-aling selalu dijaga dan dijaga karena wataknya halus. Sedangkan di Solo, karena lebih dekat dengan pemerintahan kolonial, orang-orang Solo sudah terlebih dahulu mengenal cukur. Jadi Blangkon Solo hanya mengikatkan 2 pucuk ikatan menjadi satu. Dua ikatan ini ibarat 2 kalimat syahadat yang harus diikat kuat, dipegang teguh di dalam hidup.

Tentang blangkon sendiri ada 2 filosofi. Yang pertama diletakkan di kepala agar produk yang dihasilkan kepala yaitu berupa ide, pemikiran, konsep haruslah tetap selalu dalam koridor nilai-nilai agama Islam. Jadi tidak dibiarkan bebas begitu saja akan tetapi diarahkan agar menjadi berkah untuk sesama. Menjadi rahmatan lil alamiin (rahmat seluruh semesta). Filosofi yang kedua Blangkon ibarat makrokosmos (Pemilik alam semesta ) sedangkan kepala adalah mikrokosmos yaitu makhluk bernama manusia. Artinya dalam menjalankan amanahnya  sebagai khalifah fil ardhi (pemimpin di Bumi) harus selalu tunduk dan patuh kepada penciptanya yaitu sang Khalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar