Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 12 November 2012

Memerangi Nafsu Serakah dengan Hasrat Amanah

Gema, retorika, dan upaya melakukan reformasi birokrasi masih bertalu-talu. Gagasan, konsep, dan rute untuk mewujudkan birokrasi yang profesional dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme juga sedang disusun dengan gegap gempita. Semua itu dilakukan agar Indonesia mempunyai birokrasi yang dapat menjadi tulang punggung mewujudkan pemerintahan yang efektif. Namun, gaung tersebut tidak mempunyai resonansi di tingkat daerah. Beberapa kepala daerah justru merekrut para bekas pesakitan korupsi menjadi pejabat struktural. Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, selama lima tahun terakhir ini tercatat 153 PNS bekas terpidana.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, penerima Bung Hatta Award 2004 yang bercita-cita menjadi guru mengaji setelah pensiun dari menteri, dalam batas-batas otoritasnya mencoba menembus lingkaran besi korupsi di lingkungan pemerintahan daerah. Ia menerbitkan Surat Edaran Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Surat edaran tersebut pada dasarnya melarang kepala daerah mengangkat bekas terpidana korupsi menjadi pejabat struktural di daerah. Kebijakan tersebut merupakan terobosan agar dalam penyelenggaraan pemerintahan disertakan pula konsiderasi etis serta kepatutan.

Kegelisahan Gamawan terhadap porak porandanya pemerintahan daerah dapat dimengerti. Sehari-hari ia harus menghadapi perilaku politik lebih dari 500 kepala daerah dengan seribu satu persoalan. Sebut saja beberapa yang kronis, misalnya merebaknya konflik antara kepala daerah dan wakilnya, perseteruan di antara kandidat kepala daerah pasca-pilkada, politisasi dan komersialisasi birokrasi, mutasi dan promosi tanpa prinsip meritokrasi, transparansi, profesionalisme, dan aparat pemerintah daerah yang rendah.

Berbagai persoalan akut tersebut mengakibatkan tingkat ambang batas kelumpuhan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahkan, di beberapa daerah, itu dapat membuat roda pemerintahan stagnan. Kebijakan itu tampaknya membuat siuman beberapa kepala daerah yang terlelap karena menghirup terlalu banyak udara politik yang kotor akibat limbah korupsi yang meracuni sensitivitas mereka untuk menentukan antara perbuatan patut dan tidak pantas.

Oleh sebab itu, dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Gamawan mendesak agar moralitas kandidat menjadi salah satu kriteria mereka yang ingin menjadi kepala daerah. Selain itu, ia juga mendorong kandidat kepala daerah supaya jangan dikotori oleh politik kekerabatan, terutama saudara yang mempunyai garis keturunan lurus terhadap petahana.

Terobosan Menteri Dalam Negeri mendapat respons dan dukungan publik. Alasannya, selain karena rekam jejak Gamawan sebagai tokoh anti-KKN, didorong pula oleh ekspektasi publik agar pejabat di daerah benar-benar lebih bersih. Oleh karena itu, diharapkan mereka lebih memikirkan nasib rakyat daripada kepentingan sempitnya. Dukungan dilakukan pula oleh beberapa kepala daerah yang segera memberhentikan para bekas narapidana korupsi di lingkungan kewenangannya. Hal ini tentu memberikan secercah harapan.

Dalam suasana yang jenuh terhadap perilaku korup di kalangan para elite politik, masyarakat sering kali gundah dan miris karena dalil serta imbauan moral sudah tidak mempan menghadapi nafsu para koruptor. Ancaman neraka dianggap angin lalu. Simfoni keluhan publik hanya dianggap sebagai pesorak yang menyemangati sebuah pertandingan sepak bola. Sumpah jabatan sudah lama tidak mempan mengatasi sensasi nikmatnya hasil korupsi.

Hasrat berkobar dan gelegak melakukan penyalahgunaan kekuasaan juga makin menjadi-jadi karena kejahatan korupsi sudah dimulai dari niat para elite politik dan dirancang sangat cermat. Oleh sebab itu, kecanggihan mereka menggerogoti kekayaan negara semakin mengagumkan. Perilaku korup telah menembus ambang batas nalar manusia yang dianugerahi hati nurani.

Momentum ini tampaknya harus dimanfaatkan oleh seluruh jajaran dan sektor pemerintahan. Memang masih terdapat hambatan, antara lain ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan bahwa pengangkatan (bekas narapidana) dimungkinkan sebab masa hukuman yang dijalani di bawah empat tahun. Namun, hal tersebut dapat diatasi karena Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bersedia merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Kepegawaian agar kinerja birokrat lebih maksimal.

Membiarkan bekas narapidana menjadi pejabat akan menimbulkan efek ganda yang memperburuk kredibilitas birokrasi karena menyuburkan perilaku asal bapak senang (ABS) yang ujung-ujungnya KKN. Selain itu, juga dapat dipastikan akan membuat cemburu dan melukai hati mereka yang benar-benar mencoba jujur dan mengabdi kepada masyarakat. Namun, yang lebih menghancurkan, pengangkatan bekas narapidana, terutama koruptor, menjadi pejabat dapat merusak nilai-nilai keteladanan. Karena itu, ke depan, rekam jejak karier harus menjadi konsiderasi untuk mempromosikan pejabat.

Sumber kejahatan korupsi adalah insting dan nafsu serakah untuk mencapai kenikmatan pribadi. Kehendak itu melekat dalam setiap manusia. Karena itu, jika doktrin, kaidah, dan akal sehat tidak mempan menaklukkan perilaku korup, kejahatan tersebut harus dihadapkan dengan hasrat amanah yang juga intrinsik dalam setiap manusia. Oleh karena itu, perjuangan memberantas korupsi adalah perjuangan secara terus-menerus bagaimana hasrat amanah dapat dikelola sehingga dapat menjinakkan hawa nafsu koruptif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar