Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 19 Desember 2020

sejarah ki Suparman

Ki Suparman Cermo Wiyoto.

A. RIWAYAT KELAHIRAN.

Ki Suparman dilahirkan di daerah Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Ki Suparman adalah seorang dalang yang dilahirkan dari trah dalang, yaitu Trah Miliran/Jayeng.

Ayahnya adalah seorang dalang kondang di era tahun 40-60an, yaitu Ki Cermo Bancak.

Ibu Ki Suparman sering dipanggil dengan sebutan "Mbah Cermo Bancak Putri".
Ki Bancak adalah putra dari seorang dalang Abdi Dalem Kadipaten Pakualaman, yaitu Ki Jayeng (Mbah Wiji).

Pasangan Ki Cermo Bancak dan Mbah Cermo Putri memiliki 3 orang anak, yaitu ; 1.Nyi Wasini (kelak juga melahirkan sosok Dalang Kondang di Yogyakarta), Ki Suparman, dan 3.Ki Supardi.
Menurut catatan di Kartu Tanda Penduduk, Ki Suparman lahir di Yogyakarta, 31 Desember 1935 (hal ini wajar karena pada waktu itu, data kelahiran sering tidak tercatat dengan pasti).

B. PERJALANAN BERKESENIAN.

Seperti kebanyakan keluarga trah Dalang, Suparman kecil dididik untuk melanjutkan cita-cita orang tuanya, sebagai penerus generasi dalang.
Ki Bancak selalu mengajak Suparman kecil untuk mengikuti kemanapun dia pentas wayang.
Kebiasaan itulah yang membuat jiwa seni telah merasuk ke dalam jiwa Suparman kecil.

Menginjak masa remaja, Suparman memiliki hobby baru yaitu bermain sepak bola.
Postur tubuh Suparman yang memiliki tinggi di atas rata-rata, menyebabkan dia dipercaya sebagai Kiper.
Dunia sepak bola begitu kuat mengantar Suparman muda untuk eksis sebagai Kiper andalan waktu itu.
Kepiawaian Suparman sebagai Kiper, menghantarnya sebagai pemain yang laris di banyak grup sepak bola.

Melihat gelagat tersebut, Ki Bancak mulai resah.
Ki Bancak khawatir jika kelak Suparman menjadi "lupa" dengan dunia Seni Pedalangan.

Pada suatu saat, Ki Bancak berbicara dari hati ke hati dengan Suparman.
Ki Bancak meminta agar Suparman meninggalkan dunia sepak bola dan kembali aktif di dunia kesenian.

Setelah melalui perenungan, gayungpun bersambut.
Suparman memantapkan pilihannya untuk kembali menekuni dunia wayang.
Mulai saat itu, Suparman muda bersedia menjadi Dalang di siang hari, pada pementasan Ki Bancak.

Pentas awal Ki Suparman adalah mendalang di siang hari, di daerah Gancahan, Godean, Sleman, Yogyakarta.

Selain sebagai dalang, Suparman muda juga sangat intens untuk belajar ilmu Karawitan.

Instrumen yang disukai dan kuasainya adalah Kendhang dan Gender Barung.
Selain kedua instrumen gamelan itu, Ki Suparman juga mahir bermain Bonang, Gambang, Rebab, Suling, dan lainnya.

Dengan modal ilmu Karawitan dan Pedalangan, semakin memantapkan Ki Suparman untuk menjadi Dalang profesional.

Ketika Ki Bancak mendalang, Ki Suparman selalu bertindak sebagai pemain kendhang.
Kendhangan Ki Suparman dikenal dapat "menghidupkan" pakeliran Ki Bancak.

Setelah Ki Bancak meninggal dunia, Ki Suparman semakin laris sebagai Dalang Wayang Kulit Purwa.
Bermodal tim pengrawit Trimo Lothung milik almarhum Ki Bancak, Ki Suparman melakukan pembaharuan tata musikal Karawitan. Hal itu menjadikan Karawitan Trimo Lothung semakin mendukung pola garap pakeliran Ki Suparman.
Oleh Ki Suparman, Karawitan Trimo Lothung dipercayakan kepada adiknya, yaitu Ki Supardi.

Ki Supardi sebagai pemain kendhang, juga dapat "meladeni" pola garap pakeliran Ki Suparman.

Setelah menjadi semakin kondang, grup Karawitan Trimo Lothung diubah namanya menjadi Warga Laras.
Waktu tahun 1970-1980an, duet "Parman-Pardi" dan grup Warga Laras menjadi magnet bagi penonton untuk menyaksikan pertunjukan wayang.

Ki Suparman semakin laris mendalang dan melengkapi nama tenarnya dengan sebutan Ki Suparman Cermo Wiyoto.

Masa keemasan Ki Suparman adalah antara tahun 1975 sampai tahun 1988.

Daerah yang pernah disinggahi Ki Suparman untuk diundang pentas adalah, seluruh wilayah Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Comal, Pemalang, Pekalongan, Jakarta, Pagilaran.

C. RIWAYAT KELUARGA

Ki Suparman menikah dengan seorang wanita bernama Ibu Sri.

Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai 3 orang putra, yaitu Mbak Ambar, Bayu Kuncoro, dan Bimo Tetuko.

Ki Suparman kemudian menikah dengan Ibu Sayekti, kemudian memiliki 2 orang anak yaitu Ki Seno Nugroho dan Mbak Wahyu.

Selanjutnya Ki Suparman menikah dengan Ibu Endang Kustyaningsih (Etik Suparman) dan memiliki 1 putra, yaitu Heru Nugroho.

Beberapa putra Ki Suparman juga mewarisi jiwa seni, yaitu Ki Seno Nugroho ( Dalang Muda Yogyakarta yang sedang naik daun), Bayu Kuncoro (aktif sebagai musisi di group Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, Bayu Tetuko (pengrawit), dan Heru Nugroho yang juga seorang pengrawit, designer grafis, dan penata musik.

D. PRESTASI DAN KARYA SENI.

Ki Suparman termasuk dalang "pembaharu" di Yogyakarta kala itu.

Ki Suparman mulai menggarap Karawitan, bukan sekedar pengiring Dalang, tetapi diramu agar dapat menjadi daya tarik bagi penonton.
Di tangan Ki Suparman, Grup Karawitan Warga Laras mampu menyuguhkan olahan garap gending yang dinamis, kekinian, rampak, kompak, dan tanggap situasi.
Ki Suparman juga menggiring grup Karawitannya untuk terbuka dengan gaya kesenian daerah lain, sehingga mampu menghasilkan garap gendhing gaya Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, dan lain sebagainya.

Ki Suparman bersama Karawitan Warga Laras juga mampu memasuki dapur rekaman, baik rekaman Wayang Kulit, Uyon-Uyon, maupun Langen Mandrawanan.

Beberapa di antaranya adalah ; Wahyu Tejamaya, Wahyu Antatwulan, Antareja Ratu, Sadewa Krama, Rebut Kikis Tunggarana, Wahyu Poncosari, dan lain-lain.

Kaset uyon-uyon adalah Gendhing Kembang Gayam - Ladrang Mendes Pelog Nem, Glebag Slendro Manyura, Gambirsawit Slendro Sanga.

Kaset Langen Mandrawanara adalah Senggana/Anoman Obong.

Ki Suparman juga seorang dalang Yogyakarta yang memasukkan instrumen Drum ke dalam Karawitannya.
Ki Suparman juga memasukkan instrumen Saron Cacahan 9 bilah (lazim dalam Pakeliran Surakarta) ke dalam garap pakeliraannya.

Ki Suparman juga mengolah lagu-lagu modern kala itu, untuk disertakan dalam adegan Gara-Gara, seperti Lagu Susana, Lihat Kebunku, Tik Tik Tik Bunyi Hujan, dan lain sebagainya.

Ki Suparman mampu menyajikan tata panggung yang rapi, bersih, dan menarik.

Ki Suparman dikenal memiliki pergaulan luas, tidak terbatas di Yogyakarta, tetapi juga sampai ke Surakarta, Banyumas, Boyolali, Sragen, Karanganyar, Nganjuk, Surabaya, dan lain-lain.

Ki Suparman sangat akrab dengan Dalang di luar Yogyakarta, seperti ; Ki Narto Sabdo ( Semarang), Ki Anom Suroto (Surakarta), Ki Manteb Sudarsono (Karanganyar), Ki Mujoko Joko Raharjo (Boyolali), Ki Panut Darmoko (Nganjuk), Ki Gondo Darman ( Sragen), dan masih banyak lagi.

Setiap malam Rabu Legi, bertepatan dengan acara pentas Wiyosan Ki Anom Suroto, Ki Suparman selalu menyempatkan untuk berkunjung dan bergaul dengan dalang dari luar Yogyakarta.

Hal tersebut yang membuat Ki Suparman dapat mempergelarkan lakon-lakon yang jarang ditampilkan di Yogyakarta kala itu, seperti Sesaji Rajasuya, Bale Sigala-gala, dan Wiratha Parwa.

E. CIRI KHAS PAKELIRAN.

Menurut pengamatan penulis, ciri khas pakeliran Ki Suparman adalah sebagai berikut ;

1. Warna suara yang "gandem", "antep", "arum", dan nafas suluk yang panjang.

2.Wiledan Cengkok Sulukan Ki Suparman termasuk memiliki perbedaan dengan Dalang Yogyakarta pada umumnya.

3. Dhodhogan Ki Suparman memiliki kekhasan, yaitu dengan ritme yang "mbedani".

4. Keprakan Ki Suparman termasuk salah satu yang digandrungi penonton. Suara keprak itu bening, ngeceg ngampat dan apabila nyisir, terdengar seperti suara Angkup.

5. Sajian keseluruhan dari pentas Ki Suparman dikenal rapi, bersih, dan menarik.

F.RIWAYAT KEMATIAN.

Ki Suparman begitu ingin melihat salah satu putranya dapat mewarisi ilmu sebagai seorang Dalang kondang.
Bakat itu dilihat oleh Ki Suparman, ada pada anaknya yang keempat yaitu Ki Seno Nugroho.

Waktu itu Seno Nugroho masih duduk di bangku SMKI jurusan Pedalangan dan belum pernah sekalipun mendalang.
Sekitar tahun 1988, Ki Suparman menerima job pentas di Pekalongan, sedangkan adiknya yaitu Ki Supardi juga pentas Wayang siang malam di daerah Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Ki Suparman menerima kabar jika anaknya, yaitu Seno Nugroho akan mencoba menjadi dalang siang hari di Mrican.

Sebelum berangkat ke Pekalongan, Ki Suparman lalu mempersiapkan diri untuk melihat anaknya mendalang untuk pertama kalinya.

Setelah sampai di Mrican, betapa terkejut, haru, bercampur bahagia, ketika Ki Suparman ternyata dapat melihat anaknya benar-benar bisa memainkan wayang dengan baik.

Rasa bahagia, bangga, dan terharu tercampur menjadi satu, hingga tidak terasa air mata Ki Suparman menetes.

Mengingat tugas pentas yang jauh, Ki Suparman lalu meninggalkan tempat pertunjukan di Mrican, lalu menuju Pekalongan.

Dalam hati, Ki Suparman optimis, Ki Seno Nugroho kelak akan menjadi penerusnya sebagai Dalang.

Pada hari Sabtu malam Minggu, tanggal 7 Oktober 1989, Ki Suparman diundang pentas (Dhalang Thok) di rumah seorang Lurah di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Setelah selesai pentas di Borobudur, Ki Suparman merasa kondisi badannya tidak sehat.

Oleh sopirnya, Ki Suparman diminta untuk segera istirahat total. Dikarenakan mempunyai kesanggupan untuk hadir di Toyan, Wates, Kulonprogo (Rumah Ki Hadi Sugito), maka Ki Suparman bersikeras untuk tetap datang untuk "njagong".
Minggu, 8 Oktober 1989, Ki Hadi Sugito mempunyai hajad mengkhitankan putranya, yaitu Wisnu HS. 

Dalam acara itu, Ki Hadi Sugito mengundang Dalang dari Gombang, Sawit, Boyolali, yaitu Ki Mujoko Joko Raharjo.
Minggu malam, Ki Suparman tetap pergi untuk datang ke Wates.

Ki Suparman begitu menikmati sajian yang ditampilkan Ki Mujoko.

Senin dini hari Jam 03.00, tanggal 9 Oktober, Ki Suparman merasa kondisi kesehatan mulai menurun dan akhirnya kembali ke rumahnya di Jl. Mangunsarkoro 52, Kota Yogyakarta.

Pada hari Selasa pagi, 10 Oktober 1989, Ki Suparman tidak sadarkan diri, dan dilarikan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

Tuhan telah berkehendak, tepat pada Hari Kamis Pon, tanggal 12 Oktober 1989 (12 Mulud 1922 Jawa), Ki Suparman telah kembali ke hadirat Sang Pencipta.

Ki Suparman wafat di usia 54 tahun.

Dunia pedalangan Yogyakarta berduka karena kehilangan sosok Dalang "Pembaharu". .
.
dari : Paguyuban Ki Seno Nugroho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar