Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 18 Oktober 2012

Cybercrime

Cybercrime
Perkembangan Internet dan umumnya dunia cyber tidak selamanya menghasilkan hal-hal yang postif. Salah satu hal negatif yang merupakan efek sampingannya antara lain adalah kejahatan di dunia cyber atau, cybercrime. Hilangnya batas ruang dan waktu di Internet mengubah banyak hal. Seseorang cracker di Rusia dapat masuk ke sebuah server di Pentagon tanpa ijin. Salahkah dia bila sistem di Pentagon terlalu lemah sehingga mudah ditembus? Apakah batasan dari sebuah cybercrime? Seorang yang baru “mengetuk pintu” ( port scanning ) komputer anda, apakah sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan? Apakah ini masih dalam batas ketidak-nyamanan
inconvenience ) saja? Bagaimana pendapat anda tentang penyebar virus dan bahkan pembuat virus? Bagaimana kita menghadapi cybercrime ini? Bagaimana aturan / hukum yang cocok untuk mengatasi atau menanggulangi masalah cybercrime di Indonesia? Banyak sekali pertanyaan yang harus kita jawab.
Contoh kasus di Indonesia
Pencurian dan penggunaan account Internet milik orang lain . Salah satu kesulitan dari sebuah ISP (Internet Service Provider) adalah adanya account pelanggan mereka yang “dicuri” dan digunakan secara tidak sah. Berbeda dengan pencurian yang dilakukan secara fisik, “pencurian” account cukup menangkap “userid” dan “password” saja. Hanya informasi yang dicuri. Sementara itu orang yang kecurian tidak merasakan hilangnya “benda” yang dicuri. Pencurian baru terasa efeknya jika informasi ini digunakan oleh yang tidak berhak. Akibat dari pencurian ini, penggunan dibebani biaya penggunaan acocunt tersebut. Kasus ini banyak terjadi di ISP. Namun yang pernah diangkat adalah penggunaan account curian oleh dua Warnet di Bandung.
Membajak situs web . Salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh cracker adalah mengubah halaman web, yang dikenal dengan istilah deface. Pembajakan dapat dilakukan dengan mengeksploitasi lubang keamanan. Sekitar 4 bulan yang lalu, statistik di Indonesia menunjukkan satu (1) situs web dibajak setiap harinya. Hukum apa yang dapat digunakan untuk menjerat cracker ini?
Probing dan port scanning . Salah satu langkah yang dilakukan cracker sebelum masuk ke server yang ditargetkan adalah melakukan pengintaian. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan “port scanning” atau “probing” untuk melihat servis-servis apa saja yang tersedia di server target. Sebagai contoh, hasil scanning dapat menunjukkan bahwa server target menjalankan program web server Apache, mail server Sendmail, dan seterusnya. Analogi hal ini dengan dunia nyata adalah dengan melihat-lihat apakah pintu rumah anda terkunci, merek kunci yang digunakan, jendela mana yang terbuka, apakah pagar terkunci (menggunakan firewall atau tidak) dan seterusnya. Yang bersangkutan memang belum melakukan kegiatan pencurian atau penyerangan, akan tetapi kegiatan yang dilakukan sudah mencurigakan. Apakah hal ini dapat ditolerir (dikatakan sebagai tidak bersahabat atau unfriendly saja) ataukah sudah dalam batas yang tidak dapat dibenarkan sehingga dapat dianggap sebagai kejahatan?
Berbagai program yang digunakan untuk melakukan probing atau portscanning ini dapat diperoleh secara gratis di Internet. Salah satu program yang paling populer adalah “nmap” (untuk sistem yang berbasis UNIX, Linux) dan “Superscan” (untuk sistem yang berbasis Microsoft Windows). Selain mengidentifikasi port, nmap juga bahkan dapat mengidentifikasi jenis operating system yang digunakan.
Virus . Seperti halnya di tempat lain, virus komputer pun menyebar di Indonesia . Penyebaran umumnya dilakukan dengan menggunakan email. Seringkali orang yang sistem emailnya terkena virus tidak sadar akan hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke tempat lain melalui emailnya. Kasus virus ini sudah cukup banyak seperti virus Mellisa, I love you, dan SirCam. Untuk orang yang terkena virus, kemungkinan tidak banyak yang dapat kita lakukan. Akan tetapi, bagaimana jika ada orang Indonesia yang membuat virus (seperti kasus di Filipina)? Apakah diperbolehkan membuat virus komputer?
Denial of Service (DoS) dan Distributed DoS (DDos) attack . DoS attack merupakan serangan yang bertujuan untuk melumpuhkan target (hang, crash) sehingga dia tidak dapat memberikan layanan. Serangan ini tidak melakukan pencurian, penyadapan, ataupun pemalsuan data. Akan tetapi dengan hilangnya layanan maka target tidak dapat memberikan servis sehingga ada kerugian finansial. Bagaimana status dari DoS attack ini? Bayangkan bila seseorang dapat membuat ATM bank menjadi tidak berfungsi. Akibatnya nasabah bank tidak dapat melakukan transaksi dan bank (serta nasabah) dapat mengalami kerugian finansial. DoS attack dapat ditujukan kepada server (komputer) dan juga dapat ditargetkan kepada jaringan (menghabiskan bandwidth). Tools untuk melakukan hal ini banyak tersebar di Internet. DDoS attack meningkatkan serangan ini dengan melakukannya dari berberapa (puluhan, ratusan, dan bahkan ribuan) komputer secara serentak. Efek yang dihasilkan lebih dahsyat dari DoS attack saja.
Kejahatan yang berhubungan dengan nama domain . Nama domain (domain name) digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan dan merek dagang. Namun banyak orang yang mencoba menarik keuntungan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian berusaha menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Pekerjaan ini mirip dengan calo karcis. Istilah yang sering digunakan adalah cybersquatting. Masalah lain adalah menggunakan nama domain saingan perusahaan untuk merugikan perusahaan lain. (Kasus: mustika-ratu.com) Kejahatan lain yang berhubungan dengan nama domain adalah membuat “domain plesetan”, yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. (Seperti kasus klikbca.com) Istilah yang digunakan saat ini adalah typosquatting.
IDCERT ( Indonesia Computer Emergency Response Team). Salah satu cara untuk mempermudah penanganan masalah keamanan adalah dengan membuat sebuah unit untuk melaporkan kasus keamanan. Masalah keamanan ini di luar negeri mulai dikenali dengan munculnya “sendmail worm” (sekitar tahun 1988) yang menghentikan sistem email Internet kala itu. Kemudian dibentuk sebuah Computer Emergency Response Team (CERT). Semenjak itu di negara lain mulai juga dibentuk CERT untuk menjadi point of contact bagi orang untuk melaporkan masalah kemanan. IDCERT merupakan CERT Indonesia .
Sertifikasi perangkat security . Perangkat yang digunakan untuk menanggulangi keamanan semestinya memiliki peringkat kualitas. Perangkat yang digunakan untuk keperluan pribadi tentunya berbeda dengan perangkat yang digunakan untuk keperluan militer. Namun sampai saat ini belum ada institusi yang menangani masalah evaluasi perangkat keamanan di Indonesia. Di Korea hal ini ditangani oleh Korea Information Security Agency.
Bagaimana di Luar Negeri?
Berikut ini adalah beberapa contoh pendekatan terhadap cybercrime (khususnya) dan security (umumnya) di luar negeri.
•  Amerika Serikat memiliki Computer Crime and Intellectual Property Section (CCIPS) of the Criminal Division of the U.S. Departement of Justice. Institusi ini memiliki situs web <http://www.cybercrime.gov> yang memberikan informasi tentang cybercrime. Namun banyak informasi yang masih terfokus kepada computer crime.
•  National Infrastructure Protection Center (NIPC) merupakan sebuah institusi pemerintah Amerika Serikat yang menangani masalah yang berhubungan dengan infrastruktur. Institusi ini mengidentifikasi bagian infrastruktur yang penting ( critical ) bagi negara (khususnya bagi Amerika Serikat). Situs web: <http://www.nipc.gov>. Internet atau jaringan komputer sudah dianggap sebagai infrastruktur yang perlu mendapat perhatian khusus. Institusi ini memberikan advisory
•  The National Information Infrastructure Protection Act of 1996
•  CERT yang memberikan advisory tentang adanya lubang keamanan (Security holes).
•  Korea memiliki Korea Information Security Agency yang bertugas untuk melakukan evaluasi perangkat keamanan komputer & Internet, khususnya yang akan digunakan oleh pemerintah.
Penipuan online kian canggih dan membingungkan
PURWOKERTO, KOMPAS.com - Kejahatan internet (cyber crime) dalam bentuk penipuan online (phising) pada 2012 diprediksi meningkat. Selain mewajibkan perbankan melakukan edukasi kepada nasabah tentang ancaman penipuan online, modus yang kian beragam juga membutuhkan perlindungan peranti lunak yang semakin canggih dan aman.
Yudhi Kukuh, Technical Consultant PT Prosperita-ESET Indonesia yang merupakan penyedia layanan pengaman internet, Jumat (27/4/2012) kepada Kompas menyatakan, kejahatan internet berbentuk phishing telah banyak memakan korban terutama terkait dengan online banking."Semestinyalah pihak bank juga terlibat dalam melakukan edukasi terhadap masyarakat. Edukasi tersebut diberikan setidaknya bagi nasabah baru dalam menggunakan fasilitasonline banking di bank," ujarnya.
Sebagai catatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat selama 2011 terjadi pelanggaran di dunia maya sebanyak 176 kasus.

Menurut Yudhi, pelaku kejahatan di dunia maya tak pernah kehabisan cara untuk menyelinap ke dalam sistem dan melaksanakan aksinya. Pada awalnya upayaphishing sangat sederhana, hanya dengan mengetikkan informasi yang ingin diperoleh di e-mail lalu kirimkan. Cara tersebut masih memungkinkan untuk dilakukan karena phishing masih terbilang baru dan belum banyak yang tahu implikasi dari tindakan tersebut.

Tetapi, belakangan, filter spam menjadi kebutuhan dalam sistem keamanan antivirus komputer dan menjadi penyaring terhadap e-mail semacam itu. Upaya phishing juga telah mengalami perubahan signifikan; memberikan direct links di e-mail, kemudian merubah link tersebut sehingga tampil seperti mail yang profesional dan isi suratnya terkesan dari lembaga tertentu sebagai kedok pelaku phishing.

Phishing di Indonesia marak mencari target nasabah lembaga keuangan, khususnya bank. Dilakukan untuk memperoleh data dan informasi pribadi seperti User ID, PIN, nomor rekening bank, nomor kartu kredit. Informasi ini kemudian akan dimanfaatkan oleh pelaku penipuan onlineuntuk mengakses rekening, melakukan penipuan kartu kredit atau memandu nasabah untuk melakukan transfer ke rekening tertentu dengan iming-iming hadiah.

"Kami mencatat dua bank besar Indonesia menjadi sasaran phishing, di mana nasabah dari kedua bank tersebut memperoleh e-mail dengan dalih re-aktivasi rekening," jelas Yudhi.


Hingga saat ini masih banyak user yang terjebak, dan menjadi korban phishing. Menurut Yudhi, edukasi memegang peran penting. Bagi banyak orang, phising dan serangan malware adalah isu baru.

Pada kenyataannya akan semakin banyak orang yang akan menggunakan internet sebagai media transaksi keuangan online banking, selain karena efektifitas waktu, biaya, juga karena kenyamanan atau bahkan bank-bank tertentu meniadakan layanan cara lama dalam bertransaksi sehingga topik phishing perlu banyak disebarluaskan.

"Jadi bisa diperkirakan akan semakin banyak orang harus merubah pola transaksinya dari cara manual menjadi online. Kelompok nasabah tersebut sangat rawan terjebak dan menjadi korban phishing. Perbankan tak bisa menutup mata dan harus memberikan edukasi bagi nasabahnya," ungkap Yudhi. 
Untuk mengatasi hal-hal yang tersebut di atas pemerintah telah membuat uu untuk menekan angka kejahatan, berupa sebagai berikut :
Secara garis besar, Cyber Crime terdiri dari dua jenis, yaitu;
1.      kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (“TI”) sebagai fasilitas; dan 
2.      kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.

Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

Pasal 5
(1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a.      surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b.      surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam wawancara penelitian Ahmad Zakaria, S.H., pada 16 April 2007, menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”), khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkaitCyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (“FBI”) di Amerika Serikat.

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com, memaparkan mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:

1.      Proses Acquiring dan Imaging
Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

2.      Melakukan Analisis
Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.

Dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakancyber crime, penulis tidak mengetahui secara pasti metode yang diterapkan oleh penyidik khususnya di Indonesia. Namun untuk Darrel Menthe dalam bukunyaJurisdiction in Cyberspace : A Theory of International Space, menerangkan teori yang berlaku di Amerika Serikat yaitu:

1.      Theory of The Uploader and the Downloader
Teori ini menekankan bahwa dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi)
2.      Theory of Law of the Server
Dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan server di mana halamanweb secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data elektronik.
3.      Theory of International Space
Menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.

Sedangkan pada kolom “Tanya Jawab UU ITE” dalam lamanhttp://www.batan.go.id/sjk/uu-ite dijelaskan bahwa dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer.

Demikian penjelasan yang kami dapat sampaikan.

Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:


Demikian materi tugas computer dan masyarakat saya, yang dapat saya simpulkan bahwa kejahatan cyber itu tetap akan ada selama internet itu ada dengan berbagai macam rupa dan warnanya untuk itu pemerintah harus terus menciptakan terobosan mengenai keamanan informasi mengikuti perkembangan IT itu sendiri, dan masyarakat sebagai pengguna harus selektif dalam memanfaatkan teknologi ini agar tidak merugikan diri sendiri. Dan pelaku kejahatan ini hendaknya di hukum berat dengan tidak mengesampingkan keahliaan si pelaku cybercrime.



Sumber :


  























Tidak ada komentar:

Posting Komentar