Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 03 Februari 2013

Dari Era Kolonial sampai Era Kemerdekaan

JAKARTA memiliki lebih dari 50 museum. Jadi, Anda jangan khawatir bakal kehabisan tujuan berwisata sejarah di ibu kota negara ini. Yang patut dikhawatirkan adalah kurangnya pelayanan informasi, minimnya koleksi di beberapa museum, areal yang kumuh dan minim transportasi, serta interior dan eksterior museum yang apa adanya.

Di Jalan Menteng 31 terdapat Museum Gedung Joang 45. Gedung ini dibangun tahun 1938. Awalnya gedung ini menjadi Pusat Pendidikan Politik yang dikenal dengan nama Asrama Angkatan Baru Indonesia.

Pengajar di tempat ini antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin, Mr Sunaryo, dan Ahmad Subarjo atau yang dikenal sebagai Pemuda Menteng.

Museum ini mengoleksi dokumentasi rapat raksasa di lapangan Ikada, foto-foto Bandung Lautan Api, dan pertempuran 10 November di Surabaya. Museum juga memiliki mobil kenegaraan yang pernah digunakan Bung Karno dan Bung Hatta serta 17 patung dada para pahlawan pada masa Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.

Di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, terdapat Museum Sumpah Pemuda. Satu-satunya koleksi menarik di museum ini adalah biola milik Wage Rudolf Soepratman, yang digunakan mengiringi lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”.

Di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, Anda akan dipameri arsip yang tentu saja lebih menarik ”dilahap” kalangan sejarawan.

Masih di Jakarta Pusat, di Jalan Kenari II/15 terdapat Museum Mohammad Hoesni Thamrin. Hoesni Thamrin adalah putra Betawi pertama yang memperjuangkan identitas politik dan kultural etnis Betawi.

Sayang, jalan masuk ke museum ini kumuh, dipenuhi pedagang kaki lima penjual pompa air yang tidak ada hubungannya dengan ketokohan Hoesni Thamrin. Koleksi dan kegiatan di museum ini sangat minim. Masih butuh perhatian lebih serius agar museum ini juga dapat menghibur pengunjung.

STOVIA

Perjalanan perjuangan politik bangsa Indonesia yang terekam dalam sejumlah museum baru terasa ”berdenyut” ketika mengunjungi Museum Kebangkitan Nasional di Jalan Abdurahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat.

Di bagian depan atas bangunan terpahat tulisan ”STOVIA” (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen atau sekolah kedokteran bumiputra). Bekas gedung sekolah kedokteran ini mulai dibangun pada 1899 dan selesai pada 1901. Di gedung ini, pada 20 Mei 1908, lahir organisasi pergerakan nasional pertama, Boedi Oetomo.

Tokoh organisasi ini antara lain dokter Sutomo, dokter Cipto Mangunkusumo, dokter Wahidin Sudirohusodo, dan dokter Setiabudi atau Douwes Dekker.

Dibandingkan dengan museum perjuangan politik kebangsaan lainnya, koleksi di museum ini jauh lebih menarik dan lengkap. Sejumlah koleksi orisinal seperti perangkat kedokteran sampai lampu-lampu asrama masih banyak menghiasi ruang-ruang di museum ini.

Dahulu, di gedung ini, mahasiswa bumiputra dari berbagai daerah di Indonesia dididik selama 7-9 tahun dan diharuskan tinggal dalam asrama sekolah.

Kemunculan Boedi Oetomo dianggap sebagai tonggak penting terbentuknya kesadaran nasional melawan pemerintahan kolonial Belanda. Tanggal lahir organisasi Boedi Oetomo kemudian ditetapkan pemerintah sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, gedung eks STOVIA ini difungsikan sebagai penjara bagi tentara Belanda yang menjadi tawanan perang. Setelah Indonesia merdeka, gedung direnovasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tepatnya pada 6 April 1973.

Tanggal 27 September 1982, gedung ini diresmikan Presiden Soeharto menjadi Gedung Kebangkitan Nasional. Pengelolaan museum diserahkan kepada pemerintah pusat.

Museum yang menempati areal seluas 14.625 meter persegi ini mempunyai corak arsitektur khas campuran Jawa, Toraja, Minang, dan Belanda. Kekhasan ini dapat dilihat pada corak arsitektur pada koridor panjangnya, langit-langit ruangan yang tinggi, serta pintu dan jendela yang berukuran lebih dari 2 meter.

Koleksi museum tertata menarik di tujuh ruang pamer koleksi, yaitu Ruang Pengenalan, Ruang Awal Pergerakan Nasional, Ruang Kesadaran Nasional, Ruang Pergerakan Nasional, Ruang Propaganda Studie Fonds, Ruang Memorial Boedi Oetomo, dan Ruang Pers.

Kebaharian

Di Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Jakarta Utara, terdapat Gedung Museum Bahari yang dahulu adalah gudang penyimpan rempah-rempah Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang dibangun bertahap pada kurun 1652 hingga 1759. Museum ini menjadi bagian dari kawasan Kota Tua, Batavia.

Tahun 1976, kompleks gedung diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI. Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Ali Sadikin, mengubahnya menjadi museum, yang diresmikan pemakaiannya pada 7 Juli 1977.

Kepala Seksi Edukasi dan Pameran Museum Bahari Irfal Guci mengatakan, museum ini merekam sejarah maritim Indonesia. Hasil registrasi ulang pada 2011-2012, museum ini memiliki 768 koleksi kebaharian. Sebanyak 200 di antaranya benda asli dan sisanya merupakan replika atau miniatur.

Koleksi yang menarik antara lain perahu Jayapura 2 yang didatangkan dari Papua tahun 1995. Perahu dibuat dari sebatang kayu utuh. Sempat berlayar dari Papua hingga Jawa Timur, perahu ini kemudian ditarik ke Jakarta tahun 1996.

Koleksi lain yang tak kalah menarik adalah perahu Cadik Nusantara. Perahu ini pernah dipakai berlayar oleh Effendy Solaeman (62), warga Ternate, Maluku Utara, ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Ada pula miniatur Phinisi Nusantara yang menggambarkan kedahsyatan pelaut Indonesia.

Phinisi Nusantara dibuat perajin Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan pernah mewakili Indonesia dalam festival internasional di Vancouver, Kanada, tahun 1986. Ekspedisi ke Vancouver dipimpin Captain Gita Ardjakusuma, mengarungi rute Jakarta-Bitung-Vancouver sejauh 19.800 kilometer selama 68 hari.

Museum ini juga memajang miniatur Cadik Borobudur. Perahu niaga yang dibuat berdasarkan relief Candi Borobudur ini melambangkan kejayaan bahari pada masa Kerajaan Sriwijaya abad ke-8. Ada juga perahu Jung yang digunakan pada masa Kerajaan Majapahit untuk mengangkut rempah-rempah di wilayah Nusantara abad ke-13-15.

Ada pula perahu lancang kuning khas Riau atau Melayu yang digunakan sebagai perahu resmi kerajaan, baik untuk mengangkut orang maupun barang. Selain itu, ada perahu Nade yang merupakan angkutan rakyat dari Sumatera. Perahu Nade mampu mengarungi perairan dalam skala luas, antara lain dari perairan Sumatera, Selat Malaka, dan Kalimantan.

Beragam miniatur dan gambar perahu tradisional juga dipamerkan, seperti dari Padang, Jambi, Palembang, Kalimantan, Bali, Cirebon, Madura, dan Pangandaran. Teknologi pembuatan kapal, alat tangkap nelayan, peralatan navigasi, dan perkembangan pelabuhan di Jakarta dipamerkan secara terpisah.

Sejumlah museum lain yang masih terkait dengan Kota Tua Batavia di kawasan Jakarta Barat antara lain Museum Bank Indonesia di Jalan Pintu Besar Utara 3, Museum Mandiri di Jalan Lapangan Stasiun Kota Nomor 1, Museum Sejarah Jakarta di Jalan Taman Fatahillah Nomor 1, Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara Nomor 27, serta Museum Seni Rupa dan Keramik di Jalan Pos Kota Nomor 2.

Museum-museum yang ada di kawasan ini tampak lebih siap melayani pengunjung. Tak heran kawasan Kota Tua lebih populer di kalangan pencinta museum. Yuk, nengok museum! (Windoro Adi/Mukhamad Kurniawan)

Ikuti Twitter Kompas Travel di @KompasTravel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar